Dalam editorial bulan lalu, saya telah menyinggung mengenai kesalahan orang Farisi yang saya sampaikan kepada sidang pembaca yang budiman berdasarkan buku kecil Seri Mutiara Iman, Kristen: Religi atau Kristus?  Maka dari sumber yang sama saya ingin meneruskan bahasan mengenai kesalahan orang-orang Farisi dan pada kesempatan ini mengenai kedok yang di pakai oleh orang Farisi.
          “Hallo, nama saya Joe, saya seorang peminum.” Pengakuan ini merupakan dasar utama yang mengarah pada kesembuhan bagi peminum tersebut.  Sayangnya pengakuan seperti itu merupakan salah satu unsur kerendahan hati seringkali hilang dalam praktek keagamaan kita.  Salah satu perasaan yang paling sering di alami jemaat adalah perasaan kesendirian karena hubungannya dengan orang lain tidak sungguh-sungguh nyata.  Mereka merasa saling bahu membahu, namun sesungguhnya jauh dari orang-orang yang hanya mengenakan “pakaian minggu” dan memasang “wajah minggu” dalam kebaktian minggu.  Banyak orang senang berbuat demikian.  Namun ada orang-orang yang menangis di dalam hati, nanti dulu, ini tidak benar.  Ada yang tidak beres.  Kita punya masalah, mengapa kita tidak mau mengakui bahwa kita dalam kekuatiran, kemarahan, ketakutan, kedengkian, kepahitan, rasa malu dan dikuasai nafsu?  Bukankah dengan pengakuan ini kita dapat mendukung, menghibur, serta bertanggung-jawab satu sama lain? 
          “Yesus mendukung hal ini.  Dia berkata, “Celakalah kamu (orang-orang Farisi) sebab kamu sama seperti kubur yang tidak memakai tanda; orang-orang yang berjalan di atasnya tidak mengetahuinya” (Lukas 11:44).
          Cerita yang di-ambil dari The People Almanac II 2 ini dapat mengambarkan ketidak-jujuran yang serupa:
           Pada suatu hari raja Persia, Frederick Agung, mengunjungi penjara Postdam. Setiap narapidana yang dijumpainya berkata bahwa mereka tidak bersalah.  Akhirnya ia sampai pada seorang yang dijatuhi hukuman mati karena mencuri.  Narapidana itu berkata, “Tuanku, saya memang bersalah dan pantas menerima hukuman” Raja Frederick berpaling kepada kepala penjara dan berkata, “bebaskan orang jahat ini dan keluarkan dia dari penjara, supaya dia tidak merusak orang-orang baik yang ada di sini.”
       Dalam pandangan Allah, orang-orang religius bisa jadi sama seperti orang-orang hukuman itu.  Keyakinan, ritus-ritus, dan persekutuan dalam keagamaan seringkali memberikan cara kepada orang-orang religius untuk tidak mengakui perasaan malu, perasaan bersalah, dan kebutuhan mereka akan seorang Juru selamat.  Religi bukannya mendorong orang untuk membuka diri akan ketidak-mampuannya menyelamatkan diri, tetapi justru memberikan perlindungan dan topeng untuk menutupi masalah-masalah mereka yang tidak terselesaikan.
       Upaya untuk memoles masalah-masalah kita dengan berbagai kegiatan keagamaan merupakan reaksi perlindungan diri sejak permulaan sejarah manusia.  Setelah manusia pertama jatuh ke dalam dosa, mereka menjadi malu atas ketelanjangannya.  Mereka menggunakan dedaunan untuk menutupi tubuh dan menyusup di antara pepohonan untuk menyembunyikan diri dari Tuhan.  Ketika Tuhan memasuki taman, Adam mengakui bahwa ia telah bersembunyi karena takut.  Sejak itu orang menyembunyikan diri di balik “pohon” kegiatan keagamaan dan di balik “daun-daun” upaya bukannya merendahkan diri dan mengakui kebutuhan akan keselamatan melalui ketaatan kepada Kristus, kita malah berusaha memenuhi tuntutan-tuntutan religi untuk mengkompensasi dosa-dosa kita.
        Dalam proses itu, kita menyembunyikan diri dari Kristus yang menawarkan keselamatan hanya kepada mereka yang merendahkan diri, mengakui ketidak-jujurannya serta membutuhkan belas kasihnya.

Post a Comment

Berkomentarlah dengan sopan agar dapat kami tampilkan. Terima kasih.